Cegah Brain Drain lewat Kerja Remote : Peluang yang Seharusnya Kita Rebut (Cara aman untuk Akhwat tanpa Ikhtilat)

Fenomena “kabur aja dulu” di kalangan remaja Indonesia, baik ke luar negeri untuk bekerja maupun sebagai tren semata, dapat dimaklumi mengingat terbatasnya lapangan kerja dalam negeri. Namun, menjadikannya solusi utama merugikan potensi besar di Indonesia, terutama karena peluang kerja dari rumah sering diabaikan. Padahal, bekerja dari rumah memungkinkan pekerja Indonesia bekerja untuk perusahaan di kota-kota besar atau bahkan negara lain tanpa meninggalkan keluarga, membuka peluang baru, mengurangi tekanan pada pasar kerja lokal, dan mencegah brain drain, yakni kondisi di mana talenta terbaik justru pergi dan membangun ekonomi negara lain. Seorang programmer di Pekalongan misalnya, bisa digaji perusahaan luar negeri, seorang desainer grafis di Aceh bisa menangani klien dari ibu kota, peluang ini riil, bukan sekadar teori.

Dari sisi ekonomi, kerja remote bisa menjadi salah satu jawaban atas masalah rendahnya serapan tenaga kerja formal. Lapangan kerja yang “fisik” memang terbatas, dan cenderung terpusat di kota-kota besar. Tapi lapangan kerja digital sifatnya jauh lebih luas dan lintas batas. Jika ekosistemnya dibangun dengan serius, mulai dari infrastruktur internet, pelatihan skill digital, sampai perlindungan hukum bagi pekerja maka kerja remote bisa menjadi kanal tambahan yang signifikan untuk menyerap angkatan kerja muda, tanpa memaksa mereka hijrah secara fisik.

Di sisi lain, kerja remote juga menawarkan solusi menarik bagi akhwat yang ingin tetap produktif secara ekonomi, namun memiliki komitmen kuat untuk menjaga batasan ikhtilat. Kita tahu, tidak sedikit lingkungan kantor yang (sadar atau tidak) mendorong budaya campur baur laki-laki dan Perempuan,diantaranya open space yang sangat bebas, ngobrol di luar konteks kerja, sampai kegiatan di luar jam kantor yang kurang jelas urgensinya. Bagi sebagian akhwat, ini menimbulkan dilemma, seperti ingin berkarier, tapi tidak ingin mengorbankan prinsip.

Dalam konteks ini, kerja remote bisa menjadi jalan tengah yang bijak. Dengan bekerja dari rumah atau ruang yang bisa diatur sendiri, akhwat punya kontrol lebih besar atas lingkungan kerja, seperti cara berpakaian, jarak sosial, hingga batas komunikasi dengan lawan jenis. Interaksi dengan rekan kerja laki-laki tetap bisa dilakukan secara profesional, terukur, dan sebatas kebutuhan pekerjaan, misalnya lewat email, chat, atau meeting online yang lebih terorganisir. Risiko ikhtilat yang tidak perlu jelas berkurang dibandingkan jika harus berada di satu ruangan fisik sepanjang hari.

Tentu, kerja remote bukan berarti bebas sepenuhnya dari tantangan terkait adab dan batasan. Ikhtilat dalam bentuk digital tetap harus diwaspadai, obrolan pribadi yang berlarut-larut, candaan di luar konteks kerja, atau keterikatan emosional yang muncul dari komunikasi intens, meski hanya lewat layar. Di sinilah pentingnya kesadaran diri dan aturan jelas, baik dari individu maupun perusahaan yang semestinya membatasi komunikasi yang tidak urgen, menjaga profesionalisme, serta bila perlu, membuat kebijakan internal yang memberi ruang bagi akhwat untuk menjaga prinsipnya (misalnya tidak diwajibkan menyalakan kamera saat meeting online kecuali benar-benar diperlukan).

Namun perlu diakui juga, kerja remote bukan satu-satunya solusi dan bukan juga cocok untuk semua orang. Tidak semua jenis pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah dan tidak semua daerah punya internet yang memadai pun tidak semua keluarga memahami bahwa “di rumah depan laptop” itu benar-benar sedang bekerja, bukan main-main. Di sisi lain, kerja remote menuntut disiplin tinggi, kemampuan mengatur waktu, dan skill digital yang cukup. Tanpa itu, peluang ini mungkin hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang yang sudah memiliki kesempatan sebelumnya.

Karena itu, jika kita ingin kerja remote menjadi solusi nyata, baik untuk mengurangi pengangguran maupun sebagai opsi aman dan terhormat bagi akhwat maka perlu ada upaya serius di tingkat ekosistem. Pemerintah bisa memperkuat akses internet hingga ke daerah, mendorong pelatihan kerja berbasis digital, dan memberi ruang regulasi bagi pekerja lepas maupun pekerja remote agar tidak rentan dieksploitasi. Lembaga pendidikan bisa mulai membekali mahasiswa dengan kemampuan kerja jarak jauh: komunikasi tertulis, manajemen waktu, dan pemanfaatan tools kolaborasi online. Komunitas Muslim dan lembaga dakwah pun bisa berkontribusi dengan menyusun panduan praktis seputar etika kerja remote yang selaras dengan syariat, khususnya bagi akhwat.

Pada akhirnya, dibanding sekadar mengandalkan mentalitas “kabur aja dulu”, kerja remote menawarkan alternatif yang lebih konstruktif, terhubung dengan dunia, berkontribusi secara ekonomi, tetap dekat dengan keluarga, dan bagi akhwat, tetap bisa menjaga kehormatan serta batasan ikhtilat. Ini bukan pilihan yang otomatis mudah, tapi jelas layak diperjuangkan sebagai salah satu jalan ikhtiar. Dengan niat yang lurus, skill yang terus diasah, dan ekosistem yang mendukung, kerja remote bisa menjadi jembatan antara idealisme, kebutuhan ekonomi, dan komitmen agama tanpa harus selalu meninggalkan tanah air dan keluarga.

— Falah Damayanti Journal of Ideas & Reflections

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top