
Media sosial sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Setiap hari, jutaan kata mengalir dari tangan para pengguna yang menulis status, komentar, atau pesan singkat. Di tengah derasnya informasi, bahasa tetap jadi alat utama, bukan hanya untuk berkomunikasi, tapi juga untuk menunjukkan siapa kita di dunia digital. Menariknya, bahasa di media sosial tak sekadar menyampaikan pesan. Di sana, cara berpikir, gaya hidup, bahkan nilai-nilai budaya ikut terbaca.
Perubahan bahasa di dunia maya berjalan cepat sekali. Istilah baru muncul terus, kadang hanya karena tren atau lelucon yang viral. Kata-kata seperti healing, vibes, flexing, atau receh sudah sangat akrab di telinga anak muda. Fenomena ini jelas menandakan fleksibilitas bahasa Indonesia menghadapi arus pengaruh global, terutama dari bahasa Inggris. Meski begitu, penggunaan kata asing yang berlebihan berisiko mengikis identitas bahasa kita sendiri jika tidak diimbangi dengan kesadaran berbahasa yang baik.
Gaya bahasa di media sosial punya ciri khas, ringkas, ekspresif, dan penuh kreativitas. Tapi, kebebasan kadang disalahartikan. Banyak warganet jadi lupa etika, gampang melontarkan kata kasar, umpatan, atau makian tanpa berpikir dampaknya untuk orang lain. Padahal, menurut Alwi (2018), bahasa yang baik itu bukan hanya tentang kaidah, tapi juga soal kesantunan dan cerminan kepribadian penutur. Begitu kesantunan hilang, ruang digital mudah berubah jadi arena perdebatan panas dan ujaran kebencian yang berbahaya untuk generasi muda. Bukan hanya soal etika, media sosial juga memengaruhi kemampuan menulis formal.
Generasi muda yang terbiasa memakai singkatan dan emoji sering kerepotan saat harus menulis akademik dengan struktur baku. Ini jadi tantangan tersendiri di dunia pendidikan, bagaimana menanamkan kesadaran berbahasa yang tepat tanpa mematikan kreativitas. Tapi jujur saja, media sosial tidak melulu buruk. Sisi positifnya banyak juga. Lewat platform digital, bahasa Indonesia malah bisa berkembang dan jadi lebih dikenal. Konten edukatif, video literasi, hingga kampanye penggunaan bahasa yang baik sudah mulai ramai di berbagai akun. Ini bukti, media sosial bisa jadi ruang belajar yang menyenangkan dan efektif.
Tantangan terbesar pengguna media sosial sekarang adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab berbahasa. Bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi; di sana ada jati diri bangsa. Setiap kata yang kita tulis di dunia maya seharusnya mencerminkan nilai sopan santun, empati, dan kecerdasan. Dengan kesadaran seperti itu, media sosial bisa jadi ruang dialog yang sehat, bukan cuma tempat debat kusir atau menyebar provokasi.
Menjaga kualitas bahasa di media sosial berarti menjaga citra bangsa di mata dunia. Bahasa yang sopan, cerdas, dan inklusif melahirkan komunikasi harmonis, memperkuat karakter masyarakat digital Indonesia. Di tengah arus globalisasi, keberagaman bahasa memang tidak terhindarkan, tapi keindahan bahasa Indonesia tetap layak kita banggakan bersama.
Referensi
1. Alwi, H. (2018). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Keraf, G. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
